intrinsik puisi tak berharga
Kata Kota
Yang gua inginkan hanya sebuah ketulusan. Tak pernah gua meminta lebih. Sedikit perhatian saja, menurut gua mampu obati rasa sakit gua atas arogansi dunia. Saat gua kehilangan arah dan berhenti berjalan, saat gua tak sanggup lagi berdiri karna rasa letih, saat gua kehilangan senyum dan tawa, saat gua patri amarah dengan menyendiri dan menangis, bahkan saat gua hilang kesadaran dan sekarat. gua berharap ada seseorang yang mengulurkan tangannya, membantu berdiri, menghapus air mata, tenangkan gua, menghasut dan menunjukan gua jalan ke arah cahaya.
Salah gua yang terlalu berharap banyak. Salah gua yang tak bercermin. Salah gua yang menganggap lu miliki rasa yang sama. Kesadaran gua kembali. ”elu adalah permaisyuri berparas jelita, sementara gua hanyalah budak buruk rupa”. Bukan suatu hal yang menarik bila gua berdiri di tempat yang sejajar dengan lu. lu berjalan, gua merangkak. lu berdiri, gua tiarap. lu terbang, sedangkan gua tenggelam.
Drama ini telah sampai di episode terakhir. Drama yang membuat kita terkenal diantara para aktor munafik ber-atas-nama-kan persahabatan. Drama yang menjadikan kita manusia yang memiliki arti hidup untuk dijalani. Anggap saja ini sebuah kecelakaan sejarah. Tak usah ditangisi. Tak perlu disesali. Pilih satu jalan yang lu yakini, dan gua akan memilih jalan lain. Jalan setapak ini terlalu curam untuk dilalui bersama. Akan ada banyak stok emosi yang tak mungkin kita tampung selamanya bila ketimpangan ini dipaksakan. Keegoisan kita kalahkan rasa peduli, keegoisan kita retakkan “Simbol hati” yang telah kita sepakati, dan keegoisan kita tuntaskan amarah yang sebelumnya kita redam dengan sebuah kata yang mereka sebut “Cinta” dan “Persahabatan”.
Maafkan gua karena tak mampu tepati janji untuk menjaga lu. Maafkan gua atas keegoisan gua. gua akan pergi, tanpa setitikpun jejak yang tertinggal. Semoga tak ada dendam yang lu pelihara atas keputusan gua. gua lelah bila harus jalani rutinitas palsu yang tak sedikitpun temukan celah bagi keadilan untuk berpihak pada gua.
Adalah gua, barang bekas yang tak sedikitpun lagi berharga bagi lu. Adalah gua, penyediri yang tak memiliki seorangpun teman. Adalah gua, yang dilupakan dan dibuang. Adalah gua, yang tak pernah temukan titik cahaya. Apa yang terjadi di masa lalu kita, akan gua kunci di dalam kotak memori jangka panjang yang tersimpan jauh di lemari hati. Mungkin akan terbuka dengan sendirinya saat kita bertemu. Bahagia yang kau berikan, semua kegilaan yang lu dan gua lakukan, bahkan rasa sakit yang lu atau mungkin gua torehkan.
Bagi lu ini adalah sebuah intrinsik puisi tak berharga. Konsep seorang pecundang. “Hyper Active” dan “Memusingkan”. Terlalu dipaksakan, polemik, dan dibuat-buat. Saat hal itu yang lu pikirkan, maka saat itu pula nama dan semua ingatan tentang gua telah lu hapus sepenuhnya dari ingatan lu.
gua kembali ke tempat sampah. Menunggu seseorang untuk memungut gua lagi, lalu kembali dibuang ke tempat sampah. Seterusnya seperti itu. Hingga gua bosan dan memilih jalan untuk mati. Dan dunia menertawakan gua